Islam dan Neososialis Melawan Barat

NUKLIR IRAN


Sumber: Harian KOMPAS, Sabtu, 22 Mei 2010 | 05:01 WIB

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/22/05014042/.islam.dan.neososialis.melawan.barat.

Ada kesepakatan historis segitiga antara Brasil, Turki, dan Iran, Senin (17/5) di Teheran. Kesepakatan itu terkait pertukaran bahan uranium Iran ke Turki, dengan uranium dari Turki ke reaktor nuklir Iran. Kesepakatan ini menggeser konstelasi politik menyangkut isu program nuklir Iran.

Pra-kesepakatan itu, Iran berdiri sendiri menghadapi Barat. Iran sebelumnya dipaksa mengirim uranium biasa ke Rusia dan Perancis, dan kemudian kedua negara itu memasok uranium yang sudah diperkaya ke Iran.

Pasca-kesepakatan, Iran tidak lagi sendirian, melainkan bersama Brasil dan Turki menghadapi Barat. Bahkan, Brasil dan Turki kini berada di garis depan membela kesepakatan segitiga tersebut. Perbedaan pendapat antara Brasil-Turki di satu pihak dan AS-Barat di pihak lain tak terelakkan lagi.

PM Turki Recep Tayyip Erdogan, Kamis, menegaskan, Iran telah melakukan apa yang semestinya dan masyarakat internasional hendaknya menghargai apa yang dilakukan Iran.

Namun, Presiden AS Barack Obama dalam percakapan telepon dengan PM Turki Recep Erdogan menyampaikan, pembahasan rancangan sanksi baru terhadap Iran di forum DK PBB akan terus berlanjut walau ada kesepakatan segitiga itu.

Para analis dan media Timur Tengah menyorot pertarungan baru antara Brasil-Turki dan AS pasca-kesepakatan segitiga itu. Koran Turki berbahasa Inggris Turkish Weekly edisi hari Kamis menulis, keberanian Turki berbeda pendapat dengan AS soal isu nuklir Iran adalah karena kondisi ekonomi Turki yang kini sangat kuat.

Kapasitas Brasil juga tidak jauh berbeda dari Turki. Brasil di bawah Presiden Luiz Inacio Lula da Silva berhasil membangun perekonomiannya secara fantastis. Presiden Lula da Silva berlatar belakang ideologi kiri (Neososialis) leluasa berhubungan erat dengan para pemimpin anti-Barat, seperti Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dan Presiden Venezuela Hugo Chavez. Kedekatan hubungan Lula da Silva dan Ahmadinejad, berandil besar pada tercapainya kesepakatan segitiga di Teheran hari Senin lalu itu.

Secara strategis, kesepakatan segitiga itu merupakan refleksi koalisi gerakan Islamis (Iran dan Turki) dan Neososialis (Brasil) melawan hegemoni Barat, serta tuntutan terbentuknya kemitraan (menolak unilateral Barat) di antara semua kekuatan di dunia ini dalam menghadapi persoalan besar. (mth)

Top of Form

Share on Facebook

A A A http://www.kompas.com/data/images/icon_print.gifhttp://www.kompas.com/data/images/icon_mail.gif

Bottom of Form

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

wahyudin @ Sabtu, 22 Mei 2010 | 10:15 WIB
kapan ya Indonesia sebagai negara Islamis-Sosialis BERANI melawan Imperialis-kapitalis seperti Brasil,Turki, dan Iran.

wahyudin @ Sabtu, 22 Mei 2010 | 10:14 WIB
kapan ya Indonesia sebagai negara Islamis-Sosialis BERANI melawan Imperialis-kapitalis seperti Brasil,Turki, dan Iran.

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

Menonton Negara

Sumber: Harian KOMPAS, Kamis, 6 Mei 2010 | 04:36 WIB

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/06/0436085/menonton.negara

Alois A Nugroho

Pada Mei 2010 reformasi di Indonesia genap 12 tahun. Selama tiga dasawarsa rezim Orde Baru, rubrik ”Opini” Kompas tak kenal lelah mengetengahkan distingsi antara ”partisipasi” dan ”mobilisasi” seraya mengingatkan rezim Pak Harto agar memberi tempat pada ”partisipasi”.
Pada masa itu banyak program bernuansa ”mobilisasi”, mulai dari ”Keluarga Berencana”, ”Kelompencapir” (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa), hingga ”Penataran P-4”, hanya tiga di antaranya. Bahkan pemilu, yang sering dianggap sebagai batu sendi demokrasi, oleh Orde Baru telah dijadikan ritual mobilisasi lima tahunan.
Dengan latar historis seperti itu, konsekuensi logis dari era reformasi mestinya adalah pasang naik dari prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, kenyataan empiris berbicara lain. Di satu pihak, rakyat sederhana menyayangkan pudarnya atau malah absennya negara dari program ”mobilisasi” yang ”menyejahterakan rakyat kecil”. Di lain pihak, partisipasi rakyat kebanyakan semakin menampilkan sosoknya sebagai ”partisipasi simulakrum”. Bahkan, komisi-komisi independen yang berdiri pada awal reformasi sering dianggap ”nyaris tak terdengar” lagi, atau malah mengalami penggembosan dan kriminalisasi.
Negara pascareformasi belum dialami sebagai hasil musyawarah mufakat dari ”aspirasi rakyat”. Negara belum dialami sebagaimana orang-orang merdeka di Yunani Kuno mengalami ”polis”. Negara belum dialami sebagai—meminjam Kant—himpunan aspirasi dari rakyat yang beraneka atau realm of ends, serta masih jauh dari cita-cita penyelenggaraan negara yang ”adil” terhadap beraneka aspirasi dari rakyat sebagai partisipan yang masing-masing diperlakukan setara (equal).
Partisipasi simulakrum
Partisipasi rakyat, atau aktivitas ”menegara” sebagaimana dikonsepsikan mendiang Driyarkara, pada era reformasi ini lebih dialami sebagai ”menonton negara”. Setidaknya ada tiga sebab. Pertama, ”politik yang termedia- si” (Gary Woodward: 2000), kedua, munculnya keterpaksaan untuk melakukan ”kampanye permanen” (Bruce Gronbeck, 2000) dan ketiga, selebritisasi po- litik. Realitas negara adalah realitas di balik headlines dan breaking news. Ada sekat yang memisahkan individu dan keluarga di satu pihak dan ”negara” di lain pihak. Di ruang keluarga, rakyat bertepuk tangan atau mencaci maki perilaku ”negara” yang diputar di balik layar. Terbentang tirai tak terjembatani. Partisipasi politik rakyat adalah partisipasi ”dari seberang layar kaca”.
Abraham Lincoln pernah berkata, demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Akan tetapi, dalam ”demokrasi televisi”, partisipasi politik rakyat hanya sebatas partisipasi ”penonton”. Rakyat sulit ”menyeberangi tirai kaca” dan menjadi ”pemain”. Peristiwa makam Mbah Priok dan Batam mungkin dua peristiwa mutakhir yang menandakan demokrasi kita menjauh dari yang dipidatokan Lincoln.
Media cetak sudah memasang tirai bernama ”narasi jurnalistik”. Media elektronik, terutama televisi, malah mampu menyajikan narasi real time dan memungkinkan kita merespons secara real time pula. Dalam ”demokrasi televisi”, kita seakan- akan menghadapi politik nyata dan berpartisipasi dalam politik secara lebih nyata. Kita melupakan adanya proses seleksi, adanya kepentingan politik para pemilik modal, dan sebagainya. Politik terasa dekat dan partisipasi terasa nyata, padahal ada tirai kaca yang tidak tertembus.
Para politisi, birokrat, dan penyelenggara negara pada umumnya adalah pemain yang jadi tontonan rakyat. Ada plot, ada protagonis, ada antagonis, ada pemeran utama, ada pemeran pembantu, dan ada figuran. Para komentator dan kritikus juga diundang memeriahkan suasana dan memberikan ”pencerahan” kepada rakyat, dan ini atraksi lain yang terkadang lebih meriah dari panggung utama.
Dalam acara-acara yang diberi label ”interaktif”, penonton juga diundang menelepon, mengirim SMS, atau surat elektronik lewat internet. Timbul kesan partisipasi rakyat betul-betul digugah, padahal partisipasi tersebut tak berpengaruh sedikit pun bagi hidup bernegara. Istilahnya, ”anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Ketika partisipasi politik bergerak ke arah ”partisipasi penonton”, kampanye juga akan jadi ”kampanye permanen” karena rakyat tidak hanya ”menonton” televisi menjelang pemilu dan karena ada stasiun televisi yang memfokuskan diri jadi ”televisi berita”. Frekuensi penampilan di media cetak dan lebih-lebih media elektronik dilihat relevan dengan kemungkinan demosi atau promosi seorang politisi, birokrat, atau penyelenggara negara.
Popularitas dan citra diri harus dijaga, bahkan ditingkatkan. Sebaliknya, popularitas dan citra pesaing harus digembosi. Kampanye permanen juga memuat ”kampanye negatif permanen”. Lembaga polling dan survei jadi amat relevan dan angka yang mereka peroleh menjadi layak ditonton. Ini semua membuat ”tontonan” negara semakin seru dan menarik.
Tatkala politisi menjadi selebriti di layar kaca dan tajuk utama, selebriti pun jadi politisi dan penyelenggara negara. Demokrasi seakan-akan sukses mengoyak sekat-sekat antarkelas dan menciptakan kesetaraan. Yang terjadi sebenarnya adalah bercampurnya pemain yang terbiasa lalu lalang di seberang layar kaca. Rakyat ”penonton” tetap di tempatnya semula, di sebelah luar layar kaca. Masuknya selebriti ke dunia politik mengukuhkan dikotomi antara ”mereka” yang bermain ”di dalam layar kaca” dan ”kita” yang menonton ”di luar layar kaca”.
Ilusi terbesar pada era reformasi ini adalah ilusi bahwa kita telah aktif terlibat dalam kehidupan bernegara. Padahal, sebagian besar dari kita hanya terlibat aktif sebagai penonton belaka ketika negara sedang mempertontonkan diri di dalam kotak ajaib yang bernama televisi.

Alois A Nugroho
Guru Besar Filsafat di Prodi Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya, Jakarta

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

Pertama Kalinya Dinilai Wajar

LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH


Sumber: Harian KOMPAS, Rabu, 2 Juni 2010 | 04:26 WIB

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/02/04264833/.pertama.kalinya.dinilai.wajar..

Jakarta, Kompas - Setelah enam tahun, akhirnya Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menaikkan peringkat hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP. BPK menyatakan LKPP 2009 wajar dengan pengecualian. Sebelumnya, LKPP selalu mendapat peringkat tidak menyatakan pendapat atau disclaimer opinion.

”Ini berarti terjadi peningkatan opini. Salah satu pertimbangan adalah jumlah laporan keuangan kementerian dan lembaga 90 persen sudah mendapatkan opini WDP (wajar dengan pengecualian), bahkan WTP (wajar tanpa pengecualian),” kata Ketua BPK Hadi Poernomo di Jakarta, Selasa (1/6), saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP 2009 kepada DPR.

Dia menjelaskan, kementerian dan lembaga yang memperoleh opini WTP meningkat dari tujuh laporan pada 2006 menjadi 45 laporan pada 2009. Namun, masih ada tiga masalah yang belum dituntaskan pemerintah. Pertama, ketidaksesuaian klasifikasi dan realisasi penggunaan anggaran Rp 27,51 triliun.

Kedua, persoalan inventarisasi dan penilaian aset tetap. Ada aset hasil inventarisasi dan penilaian senilai Rp 55,39 triliun yang belum dapat direkonsiliasi dengan data inventarisasi dan penilaian oleh Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.

Ketiga, pemerintah belum mencatat kewajiban dana pensiun dan tunjangan hari tua (THT) Rp 7,34 triliun yang timbul akibat kenaikan gaji PNS pada 2007-2009.

Menanggapi hasil audit BPK, ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, perbaikan peringkat ini mengagetkan. Alasannya, dari sisi pengelolaan aset, misalnya aset negara yang ada pada delapan obligor eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, belum tuntas status dan nilainya.

Selain adanya diskrepansi dalam penerimaan perpajakan yang penyelesaiannya masih mengambang. Utang luar negeri pun banyak yang tidak bersih akuntabilitas dan auditabilitasnya.

Adapun anggota DPR Andi Rachmat berpendapat, peningkatan opini LKPP merupakan kemajuan. Namun, pemerintah harus waspada karena peringkat audit bisa berubah dari tahun ke tahun. (OIN)

Top of Form

Bottom of Form

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

Zona Euro Dipaksa Disiplin Anggaran

KEUANGAN NEGARA

Sumber: Harian KOMPAS, Kamis, 20 Mei 2010 | 04:02 WIB http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/20/0402390/zona.euro.dipaksa.disiplin.anggaran..

FRANKFURT, Rabu - Jerman menginginkan 16 negara anggota zona euro untuk memperlihatkan rancangan anggaran negara ke Bank Sentral Eropa atau lembaga independen lain. Ini bertujuan untuk membuat pemerintahan di zona euro disiplin soal anggaran negara.
Defisit anggaran melebihi batas 3 persen dari produksi domestik bruto (PDB) dan komposisi utang negara lebih dari 60 persen dari PDB di zona euro membuat kawasan diharu biru krisis utang dan krisis mata uang.
Demikian salah satu dokumen yang didapatkan harian Handelsblatt di Frankfurt, Jerman, Rabu (19/5). Kanselir Jerman Angela Merkel dan Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schaeuble menginginkan penundaan pencairan dana struktural dari Uni Eropa ke negara yang tidak menaati target penurunan defisit anggaran. Jerman juga mengusulkan penundaan hak suara dari negara yang melanggar aturan anggaran.
”Program stabilitas untuk zona euro akan diminta melakukan uji independen oleh ECB atau kelompok riset independen. Dalam hal apa pun, tanggung jawab parlemen nasional terhadap anggaran mereka haruslah dihormati,” demikian harian itu.

Usulan


Pekan lalu, Komisi Eropa mengajukan usulan bahwa anggota Uni Eropa harus memberikan rancangan anggaran negara untuk dilihat dan dinilai mulai tahun 2011 sebelum disetujui parlemen. Idenya sudah dipelajari oleh para menteri keuangan dari beberapa negara, tetapi mendapat kritik pedas dari beberapa negara. Menteri Keuangan Jerman
Wolfgang Schaeuble mengatakan, hal ini dijalankan di Jerman secara bertahap mulai tahun 2016.
Para menteri keuangan Uni Eropa yang terimpit masalah utang akan bertemu lagi di Brussels pekan ini untuk memerinci dana stabilisasi sebesar 750 miliar euro atau 1 triliun dollar AS yang telah disetujui oleh Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Paket itu disetujui pada saat pembicaraan darurat Uni Eropa pekan lalu. Paket itu merupakan dana darurat dan penjamin pinjaman yang diambil negara anggota Uni Eropa jika akses terhadap pasar uang tertutup, seperti dialami Yunani.
Kredibel
Para menteri keuangan juga akan memperluas reformasi ekonomi serta reformasi fiskal pada tataran Eropa untuk jangka waktu yang lebih lama.
Mereka juga sepakat harus bisa kembali membangkitkan kepercayaan para pelaku pasar terhadap perekonomian Eropa. ”Sangat penting untuk menimbulkan kembali kepercayaan di pasar, itulah sebabnya mengapa kita mendiskusikan konsolidasi fiskal,” ujar Komisioner Ekonomi dan Moneter Olli Rehn.
Para menteri zona euro juga membela bahwa mata uang mereka adalah mata uang yang dapat dipercaya walaupun nilai tukarnya terus melemah belakangan ini.
Jean-Claude Juncker, Menteri Keuangan Luksemburg, yang memimpin pertemuan di antara para menteri keuangan, mengatakan, mereka semua akan meyakinkan para investor.
”Kami yakin euro adalah mata uang yang kredibel. Stabilitas harga telah berhasil dipertahankan dalam 11 tahun digunakannya euro sebagai mata uang bersama,” ujarnya seraya membacakan pernyataan bersama setelah pertemuan menteri keuangan 16 negara Eropa itu. (AP/AFP/Reuters/joe)

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

Menimbang Kebijakan Utang

Sumber: Harian KOMPAS, Kamis, 27 Mei 2010 | 04:55 WIB

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/27/04551271/menimbang.kebijakan.utang

Cyrillus harinowo Hadiwerdoyo

Krisis di Yunani beberapa waktu terakhir serta kekhawatiran pasar atas risiko meluasnya krisis ke negara lain dengan karakter sama dalam pengelolaan keuangan akhirnya membuka mata banyak pihak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pembiayaan pembangunan melalui utang. Apakah kebijakan itu berjalan sesuai rambu-rambu yang digariskan?

Bagi negara-negara Uni Eropa, rambu-rambu tersebut sebenarnya sudah termuat jelas dalam ”Undang-Undang Dasar” pendirian Uni Eropa. Disebut Maastricht Treaty, dalam ”kriteria konvergensi” diatur bahwa negara yang ingin menjadi anggota Uni Eropa harus memiliki defisit APBN yang tidak melampaui 3 persen dari PDB dan rasio utang pemerintah tidak melampaui 60 persen.

Rambu-rambu itu pula yang mendasari penetapan pengelolaan keuangan pemerintah kita dan bahkan sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Defisit APBN dibatasi pada tingkat 3 persen dan rasio utang pemerintah terhadap PDB maksimal 60 persen.

Krisis di Yunani pada dasarnya adalah ketidakdisiplinan mengikuti rambu-rambu. Yunani memang termasuk negara yang tidak mematuhi aturan main rasio utang di bawah 60 persen karena sejak awal negara tersebut bersama Belgia dan Italia memiliki rasio utang di atas 100 persen. Belgia cepat memperbaiki diri, sementara proses penyesuaian di Yunani berjalan lambat seperti halnya di Italia.

Pelanggaran batas atas defisit APBN juga terjadi beberapa kali, termasuk oleh negara-negara besar, seperti Jerman, Perancis, dan Italia. Hal ini menimbulkan moral hazard, yaitu lebih santainya negara anggota Uni Eropa melihat pelanggaran rambu defisit. Maka, saat terjadi resesi global 2008, banyak negara menstimulasi fiskal dengan mengorbankan kehati-hatian mereka mengelola defisit.

Data lemah

Defisit APBN di Yunani diperparah oleh lemahnya data pemerintah. Sebelumnya dikatakan defisit 8,5 persen dari PDB, melonjak menjadi 12,5 persen dan terakhir ternyata defisitnya mencapai 14 persen. Keragu-raguan pasar terhadap integritas data Yunani ini menyebabkan reaksi pasar lebih buruk dari yang seharusnya. Inilah pemicu kekhawatiran pasar akan terjadinya default karena Yunani sepertinya tidak mampu melunasi obligasi yang jatuh tempo awal Mei 2010 ini.

Dalam keadaan normal pelunasan utang dilakukan dengan refinancing, yaitu menerbitkan utang baru untuk melunasi utang lama, sehingga Pemerintah Yunani tidak perlu berjaga-jaga dengan kas yang terlalu besar. Refinancing risk inilah yang akhirnya memicu terjadinya krisis.

Bagi Indonesia, krisis di Yunani merupakan bahan pelajaran berharga dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Dalam hal ini selain menjaga kedisiplinan, perlu diwaspadai juga faktor-faktor lain terkait.

Secara umum, pengelolaan keuangan pemerintah di Indonesia berjalan baik. Rambu-rambu defisit dan utang berada dalam kendali ketat. Defisit APBN Indonesia selama bertahun-tahun selalu berada di bawah 3 persen. Bahkan, pada saat krisis global 2008, APBN berakhir dalam keadaan kurang lebih berimbang meski sebelumnya direncanakan defisit. Hal yang sama terjadi pada 2009 di mana defisit APBN di bawah yang dianggarkan.

Dalam hal pengelolaan utang, pemerintah berhasil menjaga rasio utang terhadap PDB terus turun di level 28 persen pada 2009. Bahkan, jika utang pemerintah yang berada di tangan BI dikeluarkan, rasio tersebut menjadi lebih kecil lagi, mendekati angka 20 persen.

Pemerintah juga memiliki bantalan kas lumayan tebal, sekitar Rp 200 triliun, baik yang berada di Bank Indonesia maupun di bank-bank umum. Ini berarti pemerintah memiliki cadangan dana untuk menutupi kebutuhan pelunasan utang yang jatuh tempo dalam satu tahun ataupun jika terjadi shortfall dalam penerimaan pada tahun berjalan. Kekuatan inilah yang perlu dijaga agar refinancing risk sebagaimana yang meledak di Yunani dapat dijaga pada tingkat rendah.

Perhatikan tiga hal

Prestasi tersebut dikemukakan bukan untuk berpuas diri (complacent), melainkan untuk menghindari terjadinya kekhawatiran berlebihan. Meskipun demikian, ke depan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih besar lagi.

Pertama, refinancing risk ternyata memiliki daya hancur luar biasa. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memonitor tingkat risiko sekecil mungkin. Jatuh tempo surat utang pemerintah harus diatur jangan sampai terjadi penumpukan jatuh tempo pada saat yang sama secara berlebihan (bunching). Kebijakan pengaturan utang yang dikenal dengan reprofiling perlu terus diusahakan, tetapi dengan pendekatan pasar.

Kedua, dengan melihat pengalaman Jepang, sumber pendanaan utang juga perlu dipertajam. Selama ini, Jepang yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia relatif masih mampu menjaga stabilitas karena semua utang didanai dari sumber dalam negeri. Kebijakan kita untuk memanfaatkan pasar obligasi dan sukuk global setiap kali perlu ditinjau kembali karena fluktuasi yang demikian besar pada kedua pasar tersebut.

Sumber dana dalam negeri (termasuk aliran modal dari luar negeri) yang diharapkan menyerap SUN terus berkembang jumlahnya sehingga dana inilah yang harus mendapat prioritas tertinggi. Jangan sampai kesuksesan menjual obligasi global ”membelenggu” kita mencari alternatif yang lebih aman.

Ketiga, sumber utang pemerintah yang berasal dari defisit APBN perlu terus dijaga pada tingkat aman. Pembiayaan infrastruktur yang melibatkan swasta perlu didorong meskipun pemerintah harus lebih berani meringankan beban swasta.

Kita berharap pengelolaan keuangan pemerintah memungkinkan kita berkembang ke tingkat yang lebih tinggi sehingga menyejahterakan masyarakat.

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

Parlemen Yunani Setujui Penghematan

KEUANGAN NEGARA

Sumber: Harian KOMPAS, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:23 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/08/03233437/parlemen.yunani.setujui.penghematan

ATHENA, JUMAT- Di tengah aksi protes rakyat, parlemen Yunani menyetujui langkah pemerintah untuk menghemat anggaran sebesar 30 miliar dollar AS, Jumat (7/5). Persetujuan tersebut memuluskan aliran dana talangan dari Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional.
Ketika sidang sedang berlangsung, ribuan orang berkumpul dan memprotes langkah penghematan tersebut di luar gedung parlemen. Mereka terdiri atas mahasiswa, pegawai negeri, dan para pensiunan. Mereka berteriak, ”Turun ke jalan. Tolak penghematan!”
Kerusuhan terjadi lagi ketika polisi bentrok dengan para demonstran yang melemparkan batu-batu. Polisi membalasnya dengan menembakkan gas air mata untuk membubarkan mereka. Ketika bubar pun, para demonstran masih sempat melemparkan sampah kepada polisi.
Rabu lalu, aksi demonstrasi itu diwarnai dengan pembakaran bank yang menewaskan tiga orang yang terjebak di dalamnya.
Ketika berbicara di hadapan sidang parlemen sebelum pemungutan suara, Perdana Menteri Yunani George Papandreou mengatakan, tidak ada waktu untuk menunda reformasi perekonomian Yunani yang karut-marut dan krisis utangnya telah menyebar ke kawasan lain di Eropa.
”Langkah darurat merupakan persyaratan bagi kita untuk mendapatkan kredibilitas kembali. Waktu akan membuat perubahan besar yang telah tertunda bertahun-tahun lalu,” ujarnya.
Sebagai pertanda menolak langkah darurat itu, tiga anggota parlemen menolak mendukung rencana tersebut.
Legislasi yang termasuk kenaikan pajak, reformasi pensiun, dan pemangkasan bonus pegawai negeri itu akan memangkas gaji para pegawai negeri untuk kelima kalinya.
AS Dukung
Sementara itu di Washington, Gedung Putih mengungkapkan dukungannya terhadap upaya pemerintah dalam memperbaiki stabilitas. Presiden Obama juga telah mendapatkan penjelasan tentang situasi di Yunani dari para penasihat ekonominya.
”Yunani sedang melakukan reformasi ekonomi dengan dukungan dari zona euro dan IMF. Rencana ini dirancang untuk mengeluarkan hasil dalam beberapa tahun ke depan,” demikian juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs.
Adapun di Brussels, para pemimpin Eropa terus berupaya meyakinkan pasar yang masih khawatir tentang kemungkinan semakin merebaknya krisis Yunani ini.
Perancis dan Italia sudah menyetujui bagian mereka dalam pengucuran dana talangan sebesar 110 miliar euro untuk Yunani. Demikian pula dengan Jerman.
”Kesepakatan untuk menolong Yunani akan menunjukkan bagaimana Eropa memperlihatkan solidaritasnya,” ujar Perdana Menteri Francois Fillon setelah bertemu dengan Perdana Menteri Portugis Jose Socrates. ”Kami akan melindungi Greece dan mempertahankan stabilitas di zona euro,” ujarnya lagi.
Parlemen Portugal juga menyetujui sumbangan Portugal sebesar 2 miliar euro dalam paket dana talangan untuk Yunani meski negara termiskin di zona euro itu juga sedang berada dalam kesulitan ekonomi.
Pertemuan di Brussels tersebut mendapatkan tantangan lagi karena kurs euro terus merosot menjadi titik terendah selama 14 bulan terakhir pada posisi 1,2520 per dollar AS. Selain itu, para investor di pasar obligasi ramai-ramai melepaskan obligasi terbitan Yunani.
Pasar negatif
Para pemimpin Uni Eropa dalam beberapa hari ini bersikukuh bahwa masalah yang ada di Yunani merupakan masalah yang khas. Masalah itu berasal dari kombinasi antara manajemen yang buruk, belanja pemerintah berlebihan, dan penipuan statistik. Faktor ini tidak terdapat pada negara lain di Eropa, seperti Spanyol dan Portugal.
Walaupun demikian, tampaknya pasar masih belum percaya sepenuhnya kepada perkataan para pemimpin itu.
Harga saham, obligasi, dan kurs euro masih terus melemah. Bahkan, setelah Gubernur Bank Eropa Jean-Claude Trichet menekankan bahwa ”Portugal bukanlah Yunani. Spanyol bukan Yunani.”
Pasar saham yang menurun tak hanya terbatas pada pasar saham di Eropa. Pasar saham AS dan Asia juga turut terseret turun. Pasar saham AS turun mendekati titik terendah dalam tiga bulan terakhir. Kekhawatiran akan meluasnya krisis utang Yunani tak hanya dirasakan di Eropa, tetapi juga di AS dan Asia.
Pasar saham AS turun hampir 9 persen pada dua jam terakhir perdagangan hari Kamis waktu setempat. Penurunan pasar saham itu telah menguapkan keuntungan sebesar 4 persen yang didapatkan pada tahun ini.
”Jelaslah bahwa zona euro sedang berada dalam posisi sulit dan tidak ada penyelesaian yang cepat,” ujar Tamo Greetfeld, seorang strategis ekuitas pada UniCredit. (Reuters/AP/joe)

by Yus Ruslan Achmad. No Comments

About this blog